Lumut-lumut Watulumbang: Ngadu Aduan

Belajar Bahasa Bali Melajah Basa Bali: Lumut-lumut Watulumbang 84 : Ngadu Aduan.

Dugasé nu cenik ia demen ngadu jangkrik. Jangkriké paluanga ajak jangkrik. Suba lantas kelih, ia demen ngadu siap. Siapé aduanga ajak siap. Kéto ia ulih cenik nganti kelih, sing suud-suud maplalian. Sangkané ada anak ngorahang, ia nyalanang swadharma bebotoh.

Ada bebotoh ané menang. Liunan bebotoh ané kalah. Ané menang marasa cara nemu swargan di kenehne. Ané kalah cara nepukin awakné macemplung ka neraka. Mula saja swargan ajak nerakané sing joh uli di plaliané. Plalian ngaé rasa kelangen. Di kelangenané tongos anaké ulung. Ditu masih tongos anaké lakar nepukin jalan.

Ento mara plalian ngadu jangkrik tekén ngadu siap. Liu enu plalian soroh adu-aduan. Ada ané demen ngadu kéné. Ada ané demen ngadu kéto. Ada koné “plalian” anak lingsir-lingsir lawasé. Sing ngadu jangkrik. Sing ngadu siap. Kéwala ngadu Ongkara. Lingsir-lingsiré jani liu koné makita maplalian buka kéné.

Ongkara ané ngadeg paluanga ajak Ongkara ané sumungsang. Yan sida matemu muncuk-muncuk Ongkarané, ento baosanga menang. Yén menang, koné lakar moksa. Yén kalah, nyumu koné buin lekad ka guminé. Minab dadi jangkrik aduan. Mirib dadi siap jago. Bisa masih dadi padharma wacana ulung.

Sumanasantaka, Pengantar Mati Cara Bali

Kakawin Sumanasantaka dimulai dengan pemujaan kepada Sang Hyang Hyang yang disthanakan pada lembar tulis Sang Kawi. Sang Hyang Hyang adalah Shiwa yang ‘dialami’ sebagai hakikat Aksara itu sendiri. Bijaksara [benih aksara] tersebar baik di atas lembar tulis maupun di balik keindahan alam.

Setelah pemujaan itu, diperkenalkan tokoh Trnawindu, seorang pandita taruna yang telah menguasai ajaran gurunya, Bhagawan Agastya. Ia menjalankan ajaran gurunya dengan Tapa, yaitu memanaskan dengan menutup semua lubang, dan dengan Japam, yaitu pemusatan pikiran dengan menyebut berulang-ulang silabel suci terpilih yang luar biasa ketatnya. Samadhi, yaitu keheningan Buddhi suci tingkatan tertinggi dalam Yoga telah pula dicapainya. Yoga dijadikan sarana sehingga seluruh indera takluk di hadapannya. Pikiran sebagai raja indera juga telah takluk. Ia pun menguasai Astha Eswarya [delapan jenis kesaktian pikiran].¹ Dengan delapan kesaktian pikiran itu ia mencapai tingkat kesadaran Sadashiwa.

Kehebatan Trnawindu ternyata mencemaskan para dewa di sorga. Dewa Indra kemudian menugaskan bidadari Dyah Harini, yang kecantikan badan kasamya bisa melemahkan pikiran setiap yang melihatnya. Kehalusan bahasa serta keindahan pikirannya menyebabkan orang bisa terperangkap tanpa jaring. Dia juga konon telah mendapatkan delapan kesaktian pikiran itu. Tugasnya satu, menggagalkan tapa Trnawindu. Hanya karena rasa bakti, ia menerima tugas itu walau tahu sangat berbahaya, karena itu bukan Swadharmanya. Swadharma adalah panggilan tugas-kerja [gina] berdasarkan kualitas diri [guna]. Sia-sialah orang yang mengerjakan apa yang bukan Swadharmanya walau bhakti sekalipun sebagai alasannya. Maka Dyah Harini pun berangkat diam-diam menyongsong kesia-siaan itu.

Perjalanan Dyah Harini dan alam Dewa menuju dunia manusia melalui angkasa menerobos awan. Sulitnya perjalanan itu, dan membayangkan berbahayanya tugas yang diemban, menyebabkan ia secara diam-diam memohon belas kasihan Sang Hyang Ishwara. Ia melewati puncak Panca Giri [lima gunung] yang terletak di lima arah mata angin langit. Dan puncak gunung Gandhamadana ia melihat sebuah pertapaan di lereng selatan gunung Himawan. Memancar cahaya dan pertapaan itu menandakan pertapanya telah menguasai indera. Asap pahoman menjulang tak putus-putus seperti Ongkara lengkap dengan Windu dan Nada. Dyah Harini bergerak menuju sasaran. Setelah siap mempertontonkan kecantikannya untuk membangkitkan nafsu birahi, ia pun lantas duduk di sebuah balai kecil.

Ketika itu Trnawindu sedang memuja Shiwa denganjapam. Ia mengolah Triguna-Tattwa dengan membasmi Guna-Tamah memakai api Guna-Rajah, sehingga Guna-Satwam terus terjaga. Ia pun mencapai tingkatan Asthaguna.² Tingkatan Moksa sudah hampir dicapainya. Ia hanya terpisahkan selembar kelir dengan Shiwa. Kelir itu tiada lain badan jasmaninya sendiri. Setelah usai memuja, ia pun berjalan-jalan di sekitar pertapaan. Dilihatnya Dyah Harini. Ia pun menyapa.

via Parisada Hindu Dharma Indonesia – Sumanasantaka, Pengantar Mati Cara Bali.

Ringkasan Lontar

Konsep-Konsep Budaya. A good reference on Lontar. Summary of the following lontar:

  • Krama Pura
  • Putru Pasaji
  • Tattwa Sangkaning Dadi Janma
  • Dewa Ruci
  • Catur Yuga
  • Sundarigama
  • Panugrahan Dalem
  • Tutur Bhuwana Mareka
  • Tutur Brahmoka Widhisastra
  • Tutur Medang Kemulan
  • Tutur Kumaratattwa
  • Roga Sanghara Bhumi
  • Wasista Tattwa
  • Dewa Tattwa
  • Kusumadewa
  • Wrati Sasana
  • Wariga Krimping
  • Tutur Rare Angon
  • Tutur Siwa Guru
  • Tantu Panggelaran
  • Kamoksan
  • Tutur Gong Besi
  • Tutur Lebur Gangsa
  • Tutur Angkus Prana
  • Bubuksah
  • Asta Kosala Kosali
  • Asta Bhumi
  • Eka Prathama
  • Dharma Kahuripan
  • Tutur Budha Sawenang
  • Uttara Kanda
  • Siwagama
  • Wrhaspati Tattwa
  • Ganapati Tattwa
  • Tattwa Jnana
  • Bhuwana Kosa
  • Tutur Anda Bhuwana
  • Tattwa Kala
  • Aji Swamandala
  • Yama Purwa Tattwa
  • Yama Purana Tattwa
  • Yama Purwana Tattwa
  • Yama Tattwa
  • Bhuwana Sang Ksepa
  • Sanghyang Mahajnana
  • Siwa Tattwa Purana
  • Bhuwana Mahbah
  • Purwa Bhumi Kamulan
  • Siwa Sasana
  • Sila Kramaning Aguron-guron
  • Tutur Siwa Banda Sakoti
  • Tutur Kamahayanikan
  • Tutur Jatiswara
  • Tutur Aji Saraswati
  • Tutur Chandraberawa
  • Sri Purana Tattwa

Juga terdapat Babad.

Lontar Budhakecapi

Lontar Budhakecapi.

Isi Pokok:

Dikisahkan seorang dukun sakti bernama Budhakcapi mendapat anugrah dari Hyang Nini Dalem ketika bertapa di kuburan tempat pembakaran mayat. Ia mengangkat dua orang murid, yaitu Sang Klimosadha dan sang Klimosadhi. Adapun sebab-sebab sang Klimosadha dan sang Klimosadhi berguru kepada Budhakcapi adalah karena mereka mendengar berita bahwa Budhakcapi merupakan dukun sakti tak terkalahkan oleh siapapun setelah Budhakcapi mendapat anugrah dari Hyang Nini dalem. Alasan lain adalah karena sang Klimosadha dan sang Klimosadhi sempat menanggung malu ketika mereka tidak mampu memberikan pengobatan kepada pasien. Selama berguru, sang Klimosadha dan sang Klimosadhi diajar mendeteksi gejala penyakit yang diderita oleh pasien. Di samping itu, mereka juga diberikan pengetahuan tentang hakikat filosofis obat dan penyakit, bahwa obat dan penyakit itu mempunyai sumber yang sama, yakni Sanghyang Tiga, yang terdiri atas Brahma, Wisnu, Iswara. Sanghyang Tiga (Brahma, Wisnu, Iswara) dapat mengubah dirinya menjadi penyakit atau juga dapat mengubah dirinya menjadi obat. Oleh karena itu, jenis penyakit ada tiga macam, yaitu penyakit-penyakit panas sebagai sihiran Brahma, penyakit-penyakit dingin sebagai sihiran Wisnu, dan penyakit-penyakit hangat sebagai sihiran Iswara. Demikian pula obat penawar itu ada tiga macam, yaitu obat yang berkhasiat panas sebagai ciptaan Brahma, obat yang berkhasiat dingin sebagai ciptaan Wisnu, dan obat yang berkhasiat sejuk sebagai ciptaan Iswara. Kecuali itu, sang Klimosadha dan sang Klimosadhi juga mempelajari mantera-mantera pengobatan serta jenis-jenis ramuan obat untuk berbagai jenis penyakit.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU.

Kalau dalam kisah Maha Bharata ada Bhagawad Gita, meskipun beda skala di dalam kisah Ramayana terwariskan sebuah sutra yang sarat makna bernama Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Simak seratnya di tautan yang diselipkan di atas. Set aside penafsiran-penafsiran penulisnya untuk mendapatkan ceritanya dalam konteks Anda sendiri.

Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja.
Hayuningrat = Kedamaian.
Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik.
Diyu = raksasa atau keburukan.

Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia yang harus mampu untuk menguasai hawa nafsu dan panca inderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastra Jendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia dan akhirat.

Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia.

Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya :
-Kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa.
-Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana.
-Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya.
-Betari Uma yang disumpah/dikutuk menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan hubungan suami istri pada waktu yang tidak tepat. Dimana anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru tersebut terlahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti waktu, kala juga berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi dan memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setra Gandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia inilah kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.