Kakawin Sumanasantaka dimulai dengan pemujaan kepada Sang Hyang Hyang yang disthanakan pada lembar tulis Sang Kawi. Sang Hyang Hyang adalah Shiwa yang ‘dialami’ sebagai hakikat Aksara itu sendiri. Bijaksara [benih aksara] tersebar baik di atas lembar tulis maupun di balik keindahan alam.
Setelah pemujaan itu, diperkenalkan tokoh Trnawindu, seorang pandita taruna yang telah menguasai ajaran gurunya, Bhagawan Agastya. Ia menjalankan ajaran gurunya dengan Tapa, yaitu memanaskan dengan menutup semua lubang, dan dengan Japam, yaitu pemusatan pikiran dengan menyebut berulang-ulang silabel suci terpilih yang luar biasa ketatnya. Samadhi, yaitu keheningan Buddhi suci tingkatan tertinggi dalam Yoga telah pula dicapainya. Yoga dijadikan sarana sehingga seluruh indera takluk di hadapannya. Pikiran sebagai raja indera juga telah takluk. Ia pun menguasai Astha Eswarya [delapan jenis kesaktian pikiran].¹ Dengan delapan kesaktian pikiran itu ia mencapai tingkat kesadaran Sadashiwa.
Kehebatan Trnawindu ternyata mencemaskan para dewa di sorga. Dewa Indra kemudian menugaskan bidadari Dyah Harini, yang kecantikan badan kasamya bisa melemahkan pikiran setiap yang melihatnya. Kehalusan bahasa serta keindahan pikirannya menyebabkan orang bisa terperangkap tanpa jaring. Dia juga konon telah mendapatkan delapan kesaktian pikiran itu. Tugasnya satu, menggagalkan tapa Trnawindu. Hanya karena rasa bakti, ia menerima tugas itu walau tahu sangat berbahaya, karena itu bukan Swadharmanya. Swadharma adalah panggilan tugas-kerja [gina] berdasarkan kualitas diri [guna]. Sia-sialah orang yang mengerjakan apa yang bukan Swadharmanya walau bhakti sekalipun sebagai alasannya. Maka Dyah Harini pun berangkat diam-diam menyongsong kesia-siaan itu.
Perjalanan Dyah Harini dan alam Dewa menuju dunia manusia melalui angkasa menerobos awan. Sulitnya perjalanan itu, dan membayangkan berbahayanya tugas yang diemban, menyebabkan ia secara diam-diam memohon belas kasihan Sang Hyang Ishwara. Ia melewati puncak Panca Giri [lima gunung] yang terletak di lima arah mata angin langit. Dan puncak gunung Gandhamadana ia melihat sebuah pertapaan di lereng selatan gunung Himawan. Memancar cahaya dan pertapaan itu menandakan pertapanya telah menguasai indera. Asap pahoman menjulang tak putus-putus seperti Ongkara lengkap dengan Windu dan Nada. Dyah Harini bergerak menuju sasaran. Setelah siap mempertontonkan kecantikannya untuk membangkitkan nafsu birahi, ia pun lantas duduk di sebuah balai kecil.
Ketika itu Trnawindu sedang memuja Shiwa denganjapam. Ia mengolah Triguna-Tattwa dengan membasmi Guna-Tamah memakai api Guna-Rajah, sehingga Guna-Satwam terus terjaga. Ia pun mencapai tingkatan Asthaguna.² Tingkatan Moksa sudah hampir dicapainya. Ia hanya terpisahkan selembar kelir dengan Shiwa. Kelir itu tiada lain badan jasmaninya sendiri. Setelah usai memuja, ia pun berjalan-jalan di sekitar pertapaan. Dilihatnya Dyah Harini. Ia pun menyapa.
via Parisada Hindu Dharma Indonesia – Sumanasantaka, Pengantar Mati Cara Bali.