Perjalanan Pulang

Buat saya upaya memahami proses penciptaan alam semesta adalah upaya memahami jalan saya untuk kembali pulang – kembali kepada Nya. Kembali kepada Nya juga berarti sebuah kelepasan. Kelepasan dari belenggu maya. Alangkah bahagianya hati saya ketika membaca dalam Buku Kidung Kelepasan Patanjali alih bahasa oleh Anatta bahwasannya kelepasan itu sudah ada dalam jangkauan apabila hasrat untuk mempraktekkan yoga sudah muncul. Sungguh menginspirasi.

Konon semua berasal dari Brahman. Brahman sebagai Nirguna tidak lah mungkin untuk dibayangkan atau pun dipikirkan. Pikiran adalah produk rendahan dari Maya. Bagaimana mungkin kita bisa menggunakan pikiran untuk memikirkan apalagi memahami Ia yang tak berwujud, Ia yang Nir Guna – Ia yang tidak terpengaruh oleh Guna baik Sattwam, Rajas maupun Tamas yang merupakan adalah aspek dari Maya. Kepada-Nya semesta terserap dalam equilibrium absolut, tidak termanifestasikan. Hana tan hana yaitu ada namun tidak nampak. Nirguna Brahman adalah Parama Siwa atau Parameswara dalam paham Tri Purusa yang di Bali diperkenalkan oleh Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirartha pada abad ke-14 Masehi.

Bahan Renungan: Apakah Parameswara bisa diurai menjadi Parama Eswara atau Parama Iswara?

Parama Siwa dalam paham Tri Purusa sering juga dihubungkan dengan warna hitam. Jadi ternyata warna hitam bukan hanya dominasi Wisnu dalam konsep Tri Murti yang di Bali diperkenalkan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi. Menurut Ketut Wiana, dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Brahman yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Inilah yang kemudian dihubungkan dengan warna hitam.

Bahan Renungan: Apakah keberadaan di luar alam semesta yang gelap ini masuk dalam kategori dark matter dan dark energy yang belum bisa sepenuhnya dimengerti oleh ilmuwan dalam teori big bang?

Brahman juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Brahman sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Brahman dalam keadaan Nirguna atau tanpa sifat. Manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu.

Konon hanya dalam kedalaman Samadhi kita berada dalam keadaan terdekat untuk mencapai-Nya. Bayangan saya, dalam kedalaman samadhi kita mencapai alam Sada Siwa atau Iswara – Brahman dalam proyeksi maya kosmis yang didominasi oleh pengaruh Guna Sattwam. Inilah gerbang Moksha. Kemudian, adalah prerogatif Parama Siwa untuk menyerap alam Sada Siwa kembali ke kehampaan dan equlibrium absolut Nirguna Brahman. Dalam bayangan saya, itu baru terjadi saat Maha Pralaya tiba dimana semesta akan kembali terserap secara utuh menuju kehampaan untuk masa waktu satu kalpa. Sebelum Maha Pralaya, itu akan menjadi prerogatif Parama Siwa. 🙂

Untuk saat ini, mari kita terima dan yakini pengetahuan ini sebagai sebuah kebenaran melalui jalan Agama Pramana, sebagai kebenaran yang kita terima dari guru. Gurunya adalah Swami Krishnananda, Swami Sivananda, Anatta, Patanjali, Ketut Wiana dan siapa pun melalui tulisannya yang kita sekarang bisa akses di dunia maya.

Pralaya adalah masa dimana alam semesta ini tidak ada. Pada masa pralaya yang ada hanyalah Brahman yang Nirguna. Semesta terserap kembali ke dalam equilibrium absolut, kehampaan. Pralaya disebut juga malamnya Brahman. Kemudian ada masa yang disebut Srsti, masa tercipta dan adanya alam semesta. Srsti disebut juga siangnya Brahman.

Mulanya semua adalah potensi laten yang tidak termanifestasikan dan terserap di dalam Nirguna Brahman. Kemudian Brahman mewujudkan diri Nya atau saya lebih suka menggunakan istilah membelah diri Nya – seperti dalam reaksi fisi nuklir namun dalam wujud kosmis yang gaib – menjadi Purusha dan Pradhana. Energi dan Materi. Positif dan Negatif. Purusha dan Pradhana pada hakekatnya adalah Satu, seperti halnya energi dan materi dimana mengikuti hukum relativitas Einstein energi bisa diubah menjadi materi dan materi bisa diubah menjadi energi. Energi mustahil bisa berubah menjadi materi jika di dalamnya tidak terkandung materi laten. Demikian juga sebaliknya.

Purusha adalah Kesadaran Kosmis. Pradhana disebut juga sebagai Mulaprakriti, Prakriti laten yang belum termanifestasikan. Digerakkan oleh Purusha, saat termanifestasikan Pradhana menjadi Prakriti dengan Tri Guna nya yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Dalam keadaan belum termanifestasikan Rajas dan Tamas terserap ke dalam Sattwam dan berada dalam laten. Swami Krishnananda dalam tulisannya The Philosphy of the Panchadasi bahkan mengatakan bahwa Tri Guna bukan lah sekedar attribut atau kualifikasi atau kekuatan atau aspek dari Prakriti, Tri Guna terhadap Prakriti ibaratnya serat tali terhadap talinya itu sendiri.

Prakriti apabila didominasi oleh Sattwam Kosmis disebut Maya. Maya ini transparan sebagaimana sifat dari Sattwam. Maya ada dimana-mana dan merefleksikan Purusha secara universal. Purusha direfleksikan ke dalam Maya disebut Iswara. Dalam paham Tri Purusha Iswara disebut juga dengan Sada Siwa. Iswara atau Sada Siwa adalah Purusha istimewa. Ia adalah Saguna Brahman. Ia sebagai Saguna Brahman masih memiliki kendali terhadap Maya. Iswara mengandung alam semesta dalam keadaan tidur lelap, keadaan tertinggi dan terdekat dengan keadaan Nirguna Brahman.

Inilah kaitan dengan bahan renungan yang saya sampaikan terdahulu. Apabila Sada Siwa disebut juga dengan Iswara dalam konsep yang lain. Maka wajar apabila Parama Siwa juga disebut Parameswara kalau bisa diurai menjadi Parama Iswara.

Dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan Sada Siwa sebagai Saguna Brahman lah yang maha pencipta, maha pemelihara dan maha pelebur. Sada Siwa dinyatakan memiliki empat kekuatan atau kemahakuasaan yang disebut Cadu Sakti: Vibhusakti, Prabhusakti, Jnanasakti, dan Kriyasakti. Sada Siwa dinyatakan duduk di atas Padma. Sada Siwa adalah Purusha. Padma atau Teratai adalah Prakriti atau Sakti Nya. Ketika Dia mengambil suatu wujud (badan), Dia adalah Mantratma. Mantra membentuk badan, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai jantung, Bamadewa sebagai yang dirahasiakan dan Sadyojata adalah wujudnya yaitu AUM. Ini merupakan badan Saguna Brahman atau Iswara (karena memang Iswara atau Sadyojata lah yang menjadi wujudnya sebagai Mantratma AUM) yang bercahaya dan bening seperti kristal (sebagaimana sifat dari Sattwam Guna).

Kelima wujud ini juga disebut Panca Brahma atau Panca Dewata dengan Wijaksara (aksara suci) Sa Ba Ta A I; Sa adalah wijaksara Sadyojata, Ba adalah wijaksara Bamadewa, Ta adalah wijaksara Tatpurusa, A adalah wijaksara Aghora, dan I adalah wijaksara Isana. Silahkan dikaitkan dengan post A-TA-SA-BA-I = Jalan Kembali Pulang? terdahulu.

Penciptaan alam semesta adalah sebuah evolusi. Semenjak terbelahnya Brahman menjadi Purusha dan Pradhana, penciptaan dimulai. Siang hari Nya Brahman telah dimulai untuk masa satu kalpa. Dalam Iswara atau Sada Siwa alam semesta hadir dalam bentuk Benih. Saat Benih Kosmis ini mewujudkan diri Nya, sebagai gejala dari penciptaan, sketsa dari alam semesta, Ia disebut Hiranyagarbha – Embrio Semesta. Ini adalah alam semesta dalam keadaan mimpi – lebih rendah dari Iswara. Saat Benih Kosmis ini kemudian mewujudkan diri Nya menjadi alam semesta secara utuh, Ia disebut Virat. Ini adalah alam semesta dalam keadaan terjaga penuh – lebih rendah dari Hiranyagarbha. Iswara, Hiranyagarbha dan Virat adalah manifestasi dari Sattwam Kosmis. Iswara, Hiranyagarbha dan Virat juga diperbandingkan dengan Avyakta, Buddhi dan Ahankara atau Prakriti, Mahat dan Ahankara dalam ajaran Sankhya.

Brahman dalam proyeksi Maya ini lah yang kemudian berevolusi menjadi alam semesta dan isinya yang di atas disebutkan hanya mengisi seperempat dari keseluruhan keberadaan Brahman. Kelepasan dari pengaruh Maya atau Moksha adalah kelepasan dari seperempat bagian ini dan terserap kembali ke dalam equilibrium absolut Nirguna Brahman yang di luar seperempat bagian itu.

Dalam filosofi Panchadasi disebutkan, proses penciptaan alam semesta di atas terjadi dalam empat jenjang seperti halnya melukis. Pertama, kain putih bersih sebagai keadaan mula. Kedua, kain putih bersih itu dilapisi kanji untuk mengeraskan agar menjadi kanvas siap untuk dilukis. Ketiga, seniman melukis sketsa dari gambar yang ada di pikirannya. Keempat, sketsa diwarna untuk memberikan tampilan utuh dari gambar yang ia bayangkan. Brahman sebagai kain putih sebagai latar dari lukisan. Iswara sebagai potensi laten dari lukisan di dalam kanvas. Hiranyagarbha sebagai sketsa. Virat sebagai lukisan jadinya.

Selanjutnya perpaduan Purusha dan Prakriti dengan Tri Guna Nya dalam berbagai kombinasi menciptakan berbagai bentuk mencerminkan alam semesta dalam tahap-tahap evolusinya. Saat Prakriti dipengaruhi secara lebih kuat oleh Rajas Kosmis maka Ia menjadi Avidya. Purusha ketika direfleksikan ke dalam Avidya disebut Jiwa. Dalam paham Tri Purusha Jiwa disebut juga dengan Siwa. Jadi paham Tri Purusha sebagai Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa atau dalam konsepsi lain disebutkan dengan Brahman, Iswara, dan Jiwa/Jiwatman/Atman adalah paham tentang jiwa agung alam semesta secara vertikal dalam tiga jenjang sesuai kedaaan kesadarannya dalam kaitannya dengan pengaruh dari prinsip Pradhana atau Maya.

Sesuai dengan paparan di atas maka konsep horizontal Tri Murti ada di jenjang Sada Siwa atau Iswara yang Maha Pencipta, Maha Pemelihara, dan Maha Pelebur; Utpatti, Sthiti, Pralina (sebagai paham Tri Kona); Brahma, Wisnu, Iswara atau Sada Siwa.

Purusha dalam jalinan Tri Guna mengalami penurunan tingkat kesadaran bahkan sampai menghilangkan kesadarannya. Purusha dalam kondisi seperti inilah yang disebut Atman. Apabila Iswara dalah Jiwa Kosmis Alam Semesta maka Atman adalah Jiwa individu. Begitu kuatnya pengaruh Prakriti dengan jalinan Tri Guna Nya atau Avidya yang membuat Atman itu seperti proyeksi terbalik dari Iswara. Titik tertinggi dalam kesadaran Iswara terlihat sebagai titik terendah dalam kesadaran Atman. Demikan pula sebaliknya. Apabila tidur lelap atau deep sleep adalah kesadaran dalam keadaan paling tinggi dan terjaga adalah kesadaran dalam keadaan paling rendah bagi Iswara maka sebaliknya terjaga dipersepsikan sebagai keadaan paling tinggi dan tidur lelap sebagai kesadaran paling rendah bagi Atman. Saat terjaga Atman merasa punya kendali penuh dan tidak berdaya dalam tidur lelap. Wajarlah kalau banyak manusia yang bingung, sing nawang kangin kauh, bes belog dan buduh paling dalam kuasa Avidya. 🙂 Avidya mengubah Atman. Avidya mengikat Atman. Vidya melepaskan Atman.

Mungkin jika Iswara berdiri di pinggir kolam, maka Atman adalah seperti melihat bayangan Iswara di air kolam yang keruh dan bergolak. Atman terlihat terbalik kaki di atas, kepala di bawah (karena bayangan), terlihat samar-samar agak gelap (karena airnya keruh) dan bergoyang-goyang tidak jelas (karena airnya bergolak). Inilah nanti yang akan kita bahas dalam upaya menemukan jalan pulang. Untuk bisa mengenali kembali wujud kita sebagai bayangan Iswara maka pertama-tama hilangkan keruh di air, kedua tenangkan gejolak airnya, barulah kita melihat diri kita dengan lebih jernih sebagai refleksi dari Iswara. Bila air jernih adalah analogi Prakriti dengan Guna Sattwam, gejolak air adalah Prakriti dengan Guna Rajas, dan keruhnya air adalah Prakriti dengan Guna Tamas, maka dalam pencarian jalan pulang kita harus pertama-tama berusaha sekuat tenaga mengurangi pengaruh Guna Tamas dan kemudian Rajas agar Guna Sattwam yang jernih dan tenang dapat menuntun kita pulang.

Kemudian Tamas Kosmis membagi dirinya menjadi sepasang kekuatan yaitu Avarana and Vikshepa, atau kekuatan selubung dan proyeksi. Kekuatan ini tidak hanya menyelubungi aspek kesadaran Brahman namun juga memproyeksikan alam semesta objektif. Kekuatan proyeksi memperlihatkan Prakriti dalam lima wujud yang sangat halus yang disebut juga dengan Panca Tanmatra terdiri dari: Sabda Tanmatra, atau prinsip/sari suara; Sparsa Tanmatra, atau prinsip/sari sentuhan; Rupa Tanmatra, atau prinsip/sari penglihatan atau warna; Rasa Tanmatra, atau prinsip/sari rasa; dan Gandha Tanmatra, atau prinsip/sari bau. Panca Tanmatra ini juga memiliki Tiga Guna: Sattwam, Rajas, dan Tamas di dalam masing-masingnya.

Guna Sattwam dari Prinsip Panca Tanmatra menjadi Panca Buddhindriya atau Panca Jnanendriya. Guna Sattwam dari prinsip Sabda menjadi indera pendengar – Srotendriya. Guna Sattwam dari prinsip Sparsa menjadi indera perasa – Twakindriya. Guna Sattwam dari prinsip Rupa menjadi indera penglihatan – Caksundriya. Guna Sattwam dari prinsip Rasa menjadi indera pengecap – Jihwendriya. Guna Sattwam dari prinsip Gandha menjadi indera pencium – Granendriya. Keseluruhan aspek Sattwam dari kelima prinsip ini secara bersama-sama menjadi organ dalam atau Antahkarana. Antahkarana memiliki empat aspek yaitu Manas, Buddhi, Ahamkara, dan Chitta. Manas adalah pengawas dari indera, berfungsi untuk berpikir secara umum. Buddhi adalah kecerdasan atau intelektualitas berfungsi sebagai pengambil keputusan. Ahamkara adalah individual atau ego yang membedakan dengan yang lain atau yang merasakan. Chitta adalah alam sadar dan alam bawah sadar yang merupakan bank ingatan.

Guna Rajas dari Prinsip Panca Tanmatra menjadi Panca Karmendriya. Guna Rajas dari prinsip Sabda menjadi indera penggerak perut – Garbhendriya. Guna Rajas dari prinsip Sparsa menjadi indera penggerak tangan – Panindriya. Guna Rajas dari prinsip Rupa menjadi indera penggerak kaki – Padendriya. Guna Rajas dari prinsip Rasa menjadi indera penggerak kelamin – Upasthendriya/Bhagendriya. Guna Rajas dari prinsip Gandha menjadi indera penggerak pelepasan – Payundriya. Keseluruhan aspek Rajas dari kelima prinsip ini secara bersama-sama menjadi organ penggerak. Panca Karmendriya mewakili Prana atau energi total dari kelima sistem ini. Prana memiliki lima variasi fungsi utama: Prana untuk ekspirasi, Apana untuk inspirasi, Udana untuk memisahkan badan halus dan kasar saat kematian, Samana untuk mencerna makanan, dan Vyana yang mensirkulasikan darah dalam tubuh. Gabungan antara Panca Buddhindriya atau Panca Jnanendriya dan Panca Karmendriya juga disebut Dasendriya.

Guna Tamas dari Prinsip Panca Tanmatra menjadi elemen kasar yaitu Panca Mahabutha yaitu Akasa atau Ether, Vayu atau udara, Teja atau Api, Apah atau Air, dan Pertiwi atau Tanah. Panca Tanmatra menjadi Panca Mahabutha melalui proses Panchikarana. Prosesnya seperti ini: Separuh Tamas dari Sabda Tanmatra bercampur dengan Seperdelapan Tamas dari keempat Tanmatra lain menjadi Ether. Separuh Tamas dari Saprsa Tanmatra bercampur dengan Seperdelapan Tamas dari keempat Tanmatra lain menjadi Udara.

Lebih lanjut tentang Panchikarana, silahkan baca di post yang lain berjudul Quintuplication of Elements.

Dari Panca Mahabhuta alam semesta kemudian berkembang dengan berbagai kombinasi pengaruh Tri Guna dengan segala isinya termasuk bumi, mahkluk hidup dan manusia. Dalam proses penciptaan alam semesta atau makrokosmos atau bhuwana agung, keseluruhan hasil ciptaan ini disebut Brahmanda. Brahmanda adalah alam semesta objectif dan merupakan produk turunan dari Maya dalam kendali Iswara sesuai dengan evolusi dalam paparan di atas.

Kilas balik sejenak. Pada awal paparan tersebut konsep Panca Brahma. Dalam uraiannya tentang Panca Brahma dalam bukunya Siva Mahadeva (1984), Vasudeva S. Agravala menyatakan bahwa Panca Brahma adalah penguasa dari Panca Mahabhuta dan Panca Tanmatra. Sadyojata adalah penguasa Pertiwi (tanah) dan Gandha Tanmatra (bau), Bamadewa adalah penguasa Apah (air) dan Rasa Tanmatra (rasa), Aghora adalah penguasa Teja (api) dan Sparsa Tanmatra (cahaya, warna), Tatpurusa adalah penguasa Bayu (angin) dan Rupa Tanmatra (rupa), Isana adalah penguasa Akasa (ether) dan Sabda Tanmatra (suara). Dengan demikian Panca Brahma juga menjadi pengendali Panca Jnanendriya atau Panca Buddhindriya. Sebagaimana halnya Akasa, Isana juga adalah pengendali Srotendriya (indria pendengar), Tatpurusa adalah pengendali Twakindriya (indria sentuhan), Aghora adalah pengendali Caksundriya (indria penglihatan), Bamadewa adalah pengendali Jihwendriya (indria pengecap), Sadyojata adalah Pengendali Ghranendriya (indria penciuman).

Brahmanda konon memiliki lapisan-lapisan yang ditentukan oleh kuat lemahnya pengaruh Maya. Lapisan alam atas disebut Sapta Loka. Sapta Loka terdiri dari (rendah ke tinggi):

  1. Bhur Loka – Jagra Pada (alam atman – manusia)
  2. Bhuwah Loka – Swapana Pada (alam antara atman – pitara)
  3. Swah Loka – Supta Pada (alam dewa – parama atman)
  4. Maha Loka – Turya Pada (alam niratma)
  5. Jana Loka – Turyanta Pada (alam adhyatma)
  6. Tapa Loka – Kewalya Pada (alam Niskalatma)
  7. Satya Loka – Parama Kewalya Pada (alam Sunyatma, ruang hampa Nirguna Brahman)

Lapisan alam bawah disebut Sapta Patala. Sapta Patala terdiri dari (tinggi ke rendah berdasarkan Padma Purana):

  1. Atala
  2. Witala
  3. Sutala
  4. Talatala
  5. Mahatala
  6. Rasatala
  7. Patala

 

Bersambung…

Sejarah Bali

Sejarah Bali meliputi rentang waktu perkembangan kebudayaan masyarakat Bali. Sejarah Bali juga terkait dengan beberapa mitologi dan cerita rakyat, yang ada kaitannya dengan sejarah sebuah tempat atau peristiwa yang pernah ada di Bali.

Masa Prasejarah

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, desa Trunyan, Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba desa Tegallalang.

Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :

  1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
  2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
  3. Masa bercocok tanam
  4. Masa perundagian

Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana

Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan ditepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar.

Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya (nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.

Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di daerah Pacitan dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.

Masa Berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut

Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di Pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana.Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Diantara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.

Alat-alat semacam ini ditemukan pula di goa-goa Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding goa , yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga diantaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di pulau Seram dan Irian Jaya, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.

Masa bercocok tanam

Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.

Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.

Masa Perundagian

Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian.

Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting diantaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Jawa Barat), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongolaid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras.Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian diantaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyer Jawa Barat, Sabang (Sulawesi Selatan), Selayar, Roti dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di desa Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Diantaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di desa Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

Masuknya Agama Hindu

Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.

Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata “Walidwipa”. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.

Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882 Masehi–-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah “panglapuan”. Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah “pakiran-kiran i jro makabaihan”. Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.

Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.

Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (SiwaBuddha) sebagai pembantu raja.

Masa 1343-1846

Masa ini dimulai dengan kedatangan ekspedisi Gajah Mada pada tahun 1343.

Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan.

Periode Gelgel

Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl’gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686).

Zaman Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (17101775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung

  1. Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
  2. Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
  3. Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
  4. Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
  5. Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
  6. Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
  7. Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.

Masa 1846-1949

Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka “pasifikasi” terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).

Perlawanan Terhadap Orang-Orang Belanda

Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perang Buleleng (1846) 2. Perang Jagaraga (1848–1849) 3. Perang Kusamba (1849) 4. Perang Banjar (1868) 5. Puputan Badung (1906) 6. Puputan Klungkung (1908) Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.

Zaman Penjajahan Belanda

Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.

Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.

Lahirnya Organisasi Pergerakan

Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama “Suita Gama Tirta” yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama “Shanti” pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama “Shanti Adnyana” yang kemudian berubah menjadi “Bali Adnyana”.

Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama “Suryakanta” dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama “Suryakanta”. Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama “Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok” yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studie fons.

Zaman Pendudukan Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil.

Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.

Zaman Kemerdekaan

Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.

Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat.

Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan “Long March”. Selama diadakan “Long March” itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.

Puputan Margarana

Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi Nica ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makasar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan “Puputan” sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

Konferensi Denpasar

Pada tanggal 7 sampai 24 Desember 1946, Konferensi Denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makasar (Ujung Pandang).

Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan raja-raja.

Penyerahan Kedaulatan

Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.

Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia – Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Sumber: Wikipedia as of 28 December 2010.

Sejarah Agama Hindu

PENGANTAR

Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: “Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu”.
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

AGAMA HINDU DI INDIA

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama “Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli – Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul “Hindu Javanesche Geschiedenis”, menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli – India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli – Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

AGAMA HINDU DI INDONESIA

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: “Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu”

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra

Trimurti, Trikona, Triguna Cara Bali

Parisada Hindu Dharma Indonesia – Trimurti, Trikona, Triguna Cara Bali.

Banyak pihak yang menduga pertemuan tokoh-tokoh itu di Pura Samuan Tiga untuk menemukan berbagai sekte yang diduga bermasalah satu sama lainnya. Memang menurut penelitian Dr. R. Goris menemukan ada tidak kurang dari sembilan sekte Hindu di Bali. Sekte-sekte tersebut misalnya Sekte Siwa Sidhanta, Siwa Pasupata, Ganapati, Sora, Bhairawa, Waisnawa, Budha, Brahma, dll.

Namun, tidak ada sejarah yang menyatakan bahwa sekte-sekte itu bermusuhan.