Buat saya upaya memahami proses penciptaan alam semesta adalah upaya memahami jalan saya untuk kembali pulang – kembali kepada Nya. Kembali kepada Nya juga berarti sebuah kelepasan. Kelepasan dari belenggu maya. Alangkah bahagianya hati saya ketika membaca dalam Buku Kidung Kelepasan Patanjali alih bahasa oleh Anatta bahwasannya kelepasan itu sudah ada dalam jangkauan apabila hasrat untuk mempraktekkan yoga sudah muncul. Sungguh menginspirasi.
Konon semua berasal dari Brahman. Brahman sebagai Nirguna tidak lah mungkin untuk dibayangkan atau pun dipikirkan. Pikiran adalah produk rendahan dari Maya. Bagaimana mungkin kita bisa menggunakan pikiran untuk memikirkan apalagi memahami Ia yang tak berwujud, Ia yang Nir Guna – Ia yang tidak terpengaruh oleh Guna baik Sattwam, Rajas maupun Tamas yang merupakan adalah aspek dari Maya. Kepada-Nya semesta terserap dalam equilibrium absolut, tidak termanifestasikan. Hana tan hana yaitu ada namun tidak nampak. Nirguna Brahman adalah Parama Siwa atau Parameswara dalam paham Tri Purusa yang di Bali diperkenalkan oleh Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirartha pada abad ke-14 Masehi.
Bahan Renungan: Apakah Parameswara bisa diurai menjadi Parama Eswara atau Parama Iswara?
Parama Siwa dalam paham Tri Purusa sering juga dihubungkan dengan warna hitam. Jadi ternyata warna hitam bukan hanya dominasi Wisnu dalam konsep Tri Murti yang di Bali diperkenalkan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi. Menurut Ketut Wiana, dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Brahman yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Inilah yang kemudian dihubungkan dengan warna hitam.
Bahan Renungan: Apakah keberadaan di luar alam semesta yang gelap ini masuk dalam kategori dark matter dan dark energy yang belum bisa sepenuhnya dimengerti oleh ilmuwan dalam teori big bang?
Brahman juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Brahman sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Brahman dalam keadaan Nirguna atau tanpa sifat. Manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu.
Konon hanya dalam kedalaman Samadhi kita berada dalam keadaan terdekat untuk mencapai-Nya. Bayangan saya, dalam kedalaman samadhi kita mencapai alam Sada Siwa atau Iswara – Brahman dalam proyeksi maya kosmis yang didominasi oleh pengaruh Guna Sattwam. Inilah gerbang Moksha. Kemudian, adalah prerogatif Parama Siwa untuk menyerap alam Sada Siwa kembali ke kehampaan dan equlibrium absolut Nirguna Brahman. Dalam bayangan saya, itu baru terjadi saat Maha Pralaya tiba dimana semesta akan kembali terserap secara utuh menuju kehampaan untuk masa waktu satu kalpa. Sebelum Maha Pralaya, itu akan menjadi prerogatif Parama Siwa. 🙂
Untuk saat ini, mari kita terima dan yakini pengetahuan ini sebagai sebuah kebenaran melalui jalan Agama Pramana, sebagai kebenaran yang kita terima dari guru. Gurunya adalah Swami Krishnananda, Swami Sivananda, Anatta, Patanjali, Ketut Wiana dan siapa pun melalui tulisannya yang kita sekarang bisa akses di dunia maya.
Pralaya adalah masa dimana alam semesta ini tidak ada. Pada masa pralaya yang ada hanyalah Brahman yang Nirguna. Semesta terserap kembali ke dalam equilibrium absolut, kehampaan. Pralaya disebut juga malamnya Brahman. Kemudian ada masa yang disebut Srsti, masa tercipta dan adanya alam semesta. Srsti disebut juga siangnya Brahman.
Mulanya semua adalah potensi laten yang tidak termanifestasikan dan terserap di dalam Nirguna Brahman. Kemudian Brahman mewujudkan diri Nya atau saya lebih suka menggunakan istilah membelah diri Nya – seperti dalam reaksi fisi nuklir namun dalam wujud kosmis yang gaib – menjadi Purusha dan Pradhana. Energi dan Materi. Positif dan Negatif. Purusha dan Pradhana pada hakekatnya adalah Satu, seperti halnya energi dan materi dimana mengikuti hukum relativitas Einstein energi bisa diubah menjadi materi dan materi bisa diubah menjadi energi. Energi mustahil bisa berubah menjadi materi jika di dalamnya tidak terkandung materi laten. Demikian juga sebaliknya.
Purusha adalah Kesadaran Kosmis. Pradhana disebut juga sebagai Mulaprakriti, Prakriti laten yang belum termanifestasikan. Digerakkan oleh Purusha, saat termanifestasikan Pradhana menjadi Prakriti dengan Tri Guna nya yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Dalam keadaan belum termanifestasikan Rajas dan Tamas terserap ke dalam Sattwam dan berada dalam laten. Swami Krishnananda dalam tulisannya The Philosphy of the Panchadasi bahkan mengatakan bahwa Tri Guna bukan lah sekedar attribut atau kualifikasi atau kekuatan atau aspek dari Prakriti, Tri Guna terhadap Prakriti ibaratnya serat tali terhadap talinya itu sendiri.
Prakriti apabila didominasi oleh Sattwam Kosmis disebut Maya. Maya ini transparan sebagaimana sifat dari Sattwam. Maya ada dimana-mana dan merefleksikan Purusha secara universal. Purusha direfleksikan ke dalam Maya disebut Iswara. Dalam paham Tri Purusha Iswara disebut juga dengan Sada Siwa. Iswara atau Sada Siwa adalah Purusha istimewa. Ia adalah Saguna Brahman. Ia sebagai Saguna Brahman masih memiliki kendali terhadap Maya. Iswara mengandung alam semesta dalam keadaan tidur lelap, keadaan tertinggi dan terdekat dengan keadaan Nirguna Brahman.
Inilah kaitan dengan bahan renungan yang saya sampaikan terdahulu. Apabila Sada Siwa disebut juga dengan Iswara dalam konsep yang lain. Maka wajar apabila Parama Siwa juga disebut Parameswara kalau bisa diurai menjadi Parama Iswara.
Dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan Sada Siwa sebagai Saguna Brahman lah yang maha pencipta, maha pemelihara dan maha pelebur. Sada Siwa dinyatakan memiliki empat kekuatan atau kemahakuasaan yang disebut Cadu Sakti: Vibhusakti, Prabhusakti, Jnanasakti, dan Kriyasakti. Sada Siwa dinyatakan duduk di atas Padma. Sada Siwa adalah Purusha. Padma atau Teratai adalah Prakriti atau Sakti Nya. Ketika Dia mengambil suatu wujud (badan), Dia adalah Mantratma. Mantra membentuk badan, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai jantung, Bamadewa sebagai yang dirahasiakan dan Sadyojata adalah wujudnya yaitu AUM. Ini merupakan badan Saguna Brahman atau Iswara (karena memang Iswara atau Sadyojata lah yang menjadi wujudnya sebagai Mantratma AUM) yang bercahaya dan bening seperti kristal (sebagaimana sifat dari Sattwam Guna).
Kelima wujud ini juga disebut Panca Brahma atau Panca Dewata dengan Wijaksara (aksara suci) Sa Ba Ta A I; Sa adalah wijaksara Sadyojata, Ba adalah wijaksara Bamadewa, Ta adalah wijaksara Tatpurusa, A adalah wijaksara Aghora, dan I adalah wijaksara Isana. Silahkan dikaitkan dengan post A-TA-SA-BA-I = Jalan Kembali Pulang? terdahulu.
Penciptaan alam semesta adalah sebuah evolusi. Semenjak terbelahnya Brahman menjadi Purusha dan Pradhana, penciptaan dimulai. Siang hari Nya Brahman telah dimulai untuk masa satu kalpa. Dalam Iswara atau Sada Siwa alam semesta hadir dalam bentuk Benih. Saat Benih Kosmis ini mewujudkan diri Nya, sebagai gejala dari penciptaan, sketsa dari alam semesta, Ia disebut Hiranyagarbha – Embrio Semesta. Ini adalah alam semesta dalam keadaan mimpi – lebih rendah dari Iswara. Saat Benih Kosmis ini kemudian mewujudkan diri Nya menjadi alam semesta secara utuh, Ia disebut Virat. Ini adalah alam semesta dalam keadaan terjaga penuh – lebih rendah dari Hiranyagarbha. Iswara, Hiranyagarbha dan Virat adalah manifestasi dari Sattwam Kosmis. Iswara, Hiranyagarbha dan Virat juga diperbandingkan dengan Avyakta, Buddhi dan Ahankara atau Prakriti, Mahat dan Ahankara dalam ajaran Sankhya.
Brahman dalam proyeksi Maya ini lah yang kemudian berevolusi menjadi alam semesta dan isinya yang di atas disebutkan hanya mengisi seperempat dari keseluruhan keberadaan Brahman. Kelepasan dari pengaruh Maya atau Moksha adalah kelepasan dari seperempat bagian ini dan terserap kembali ke dalam equilibrium absolut Nirguna Brahman yang di luar seperempat bagian itu.
Dalam filosofi Panchadasi disebutkan, proses penciptaan alam semesta di atas terjadi dalam empat jenjang seperti halnya melukis. Pertama, kain putih bersih sebagai keadaan mula. Kedua, kain putih bersih itu dilapisi kanji untuk mengeraskan agar menjadi kanvas siap untuk dilukis. Ketiga, seniman melukis sketsa dari gambar yang ada di pikirannya. Keempat, sketsa diwarna untuk memberikan tampilan utuh dari gambar yang ia bayangkan. Brahman sebagai kain putih sebagai latar dari lukisan. Iswara sebagai potensi laten dari lukisan di dalam kanvas. Hiranyagarbha sebagai sketsa. Virat sebagai lukisan jadinya.
Selanjutnya perpaduan Purusha dan Prakriti dengan Tri Guna Nya dalam berbagai kombinasi menciptakan berbagai bentuk mencerminkan alam semesta dalam tahap-tahap evolusinya. Saat Prakriti dipengaruhi secara lebih kuat oleh Rajas Kosmis maka Ia menjadi Avidya. Purusha ketika direfleksikan ke dalam Avidya disebut Jiwa. Dalam paham Tri Purusha Jiwa disebut juga dengan Siwa. Jadi paham Tri Purusha sebagai Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa atau dalam konsepsi lain disebutkan dengan Brahman, Iswara, dan Jiwa/Jiwatman/Atman adalah paham tentang jiwa agung alam semesta secara vertikal dalam tiga jenjang sesuai kedaaan kesadarannya dalam kaitannya dengan pengaruh dari prinsip Pradhana atau Maya.
Sesuai dengan paparan di atas maka konsep horizontal Tri Murti ada di jenjang Sada Siwa atau Iswara yang Maha Pencipta, Maha Pemelihara, dan Maha Pelebur; Utpatti, Sthiti, Pralina (sebagai paham Tri Kona); Brahma, Wisnu, Iswara atau Sada Siwa.
Purusha dalam jalinan Tri Guna mengalami penurunan tingkat kesadaran bahkan sampai menghilangkan kesadarannya. Purusha dalam kondisi seperti inilah yang disebut Atman. Apabila Iswara dalah Jiwa Kosmis Alam Semesta maka Atman adalah Jiwa individu. Begitu kuatnya pengaruh Prakriti dengan jalinan Tri Guna Nya atau Avidya yang membuat Atman itu seperti proyeksi terbalik dari Iswara. Titik tertinggi dalam kesadaran Iswara terlihat sebagai titik terendah dalam kesadaran Atman. Demikan pula sebaliknya. Apabila tidur lelap atau deep sleep adalah kesadaran dalam keadaan paling tinggi dan terjaga adalah kesadaran dalam keadaan paling rendah bagi Iswara maka sebaliknya terjaga dipersepsikan sebagai keadaan paling tinggi dan tidur lelap sebagai kesadaran paling rendah bagi Atman. Saat terjaga Atman merasa punya kendali penuh dan tidak berdaya dalam tidur lelap. Wajarlah kalau banyak manusia yang bingung, sing nawang kangin kauh, bes belog dan buduh paling dalam kuasa Avidya. 🙂 Avidya mengubah Atman. Avidya mengikat Atman. Vidya melepaskan Atman.
Mungkin jika Iswara berdiri di pinggir kolam, maka Atman adalah seperti melihat bayangan Iswara di air kolam yang keruh dan bergolak. Atman terlihat terbalik kaki di atas, kepala di bawah (karena bayangan), terlihat samar-samar agak gelap (karena airnya keruh) dan bergoyang-goyang tidak jelas (karena airnya bergolak). Inilah nanti yang akan kita bahas dalam upaya menemukan jalan pulang. Untuk bisa mengenali kembali wujud kita sebagai bayangan Iswara maka pertama-tama hilangkan keruh di air, kedua tenangkan gejolak airnya, barulah kita melihat diri kita dengan lebih jernih sebagai refleksi dari Iswara. Bila air jernih adalah analogi Prakriti dengan Guna Sattwam, gejolak air adalah Prakriti dengan Guna Rajas, dan keruhnya air adalah Prakriti dengan Guna Tamas, maka dalam pencarian jalan pulang kita harus pertama-tama berusaha sekuat tenaga mengurangi pengaruh Guna Tamas dan kemudian Rajas agar Guna Sattwam yang jernih dan tenang dapat menuntun kita pulang.
Kemudian Tamas Kosmis membagi dirinya menjadi sepasang kekuatan yaitu Avarana and Vikshepa, atau kekuatan selubung dan proyeksi. Kekuatan ini tidak hanya menyelubungi aspek kesadaran Brahman namun juga memproyeksikan alam semesta objektif. Kekuatan proyeksi memperlihatkan Prakriti dalam lima wujud yang sangat halus yang disebut juga dengan Panca Tanmatra terdiri dari: Sabda Tanmatra, atau prinsip/sari suara; Sparsa Tanmatra, atau prinsip/sari sentuhan; Rupa Tanmatra, atau prinsip/sari penglihatan atau warna; Rasa Tanmatra, atau prinsip/sari rasa; dan Gandha Tanmatra, atau prinsip/sari bau. Panca Tanmatra ini juga memiliki Tiga Guna: Sattwam, Rajas, dan Tamas di dalam masing-masingnya.
Guna Sattwam dari Prinsip Panca Tanmatra menjadi Panca Buddhindriya atau Panca Jnanendriya. Guna Sattwam dari prinsip Sabda menjadi indera pendengar – Srotendriya. Guna Sattwam dari prinsip Sparsa menjadi indera perasa – Twakindriya. Guna Sattwam dari prinsip Rupa menjadi indera penglihatan – Caksundriya. Guna Sattwam dari prinsip Rasa menjadi indera pengecap – Jihwendriya. Guna Sattwam dari prinsip Gandha menjadi indera pencium – Granendriya. Keseluruhan aspek Sattwam dari kelima prinsip ini secara bersama-sama menjadi organ dalam atau Antahkarana. Antahkarana memiliki empat aspek yaitu Manas, Buddhi, Ahamkara, dan Chitta. Manas adalah pengawas dari indera, berfungsi untuk berpikir secara umum. Buddhi adalah kecerdasan atau intelektualitas berfungsi sebagai pengambil keputusan. Ahamkara adalah individual atau ego yang membedakan dengan yang lain atau yang merasakan. Chitta adalah alam sadar dan alam bawah sadar yang merupakan bank ingatan.
Guna Rajas dari Prinsip Panca Tanmatra menjadi Panca Karmendriya. Guna Rajas dari prinsip Sabda menjadi indera penggerak perut – Garbhendriya. Guna Rajas dari prinsip Sparsa menjadi indera penggerak tangan – Panindriya. Guna Rajas dari prinsip Rupa menjadi indera penggerak kaki – Padendriya. Guna Rajas dari prinsip Rasa menjadi indera penggerak kelamin – Upasthendriya/Bhagendriya. Guna Rajas dari prinsip Gandha menjadi indera penggerak pelepasan – Payundriya. Keseluruhan aspek Rajas dari kelima prinsip ini secara bersama-sama menjadi organ penggerak. Panca Karmendriya mewakili Prana atau energi total dari kelima sistem ini. Prana memiliki lima variasi fungsi utama: Prana untuk ekspirasi, Apana untuk inspirasi, Udana untuk memisahkan badan halus dan kasar saat kematian, Samana untuk mencerna makanan, dan Vyana yang mensirkulasikan darah dalam tubuh. Gabungan antara Panca Buddhindriya atau Panca Jnanendriya dan Panca Karmendriya juga disebut Dasendriya.
Guna Tamas dari Prinsip Panca Tanmatra menjadi elemen kasar yaitu Panca Mahabutha yaitu Akasa atau Ether, Vayu atau udara, Teja atau Api, Apah atau Air, dan Pertiwi atau Tanah. Panca Tanmatra menjadi Panca Mahabutha melalui proses Panchikarana. Prosesnya seperti ini: Separuh Tamas dari Sabda Tanmatra bercampur dengan Seperdelapan Tamas dari keempat Tanmatra lain menjadi Ether. Separuh Tamas dari Saprsa Tanmatra bercampur dengan Seperdelapan Tamas dari keempat Tanmatra lain menjadi Udara.
Lebih lanjut tentang Panchikarana, silahkan baca di post yang lain berjudul Quintuplication of Elements.
Dari Panca Mahabhuta alam semesta kemudian berkembang dengan berbagai kombinasi pengaruh Tri Guna dengan segala isinya termasuk bumi, mahkluk hidup dan manusia. Dalam proses penciptaan alam semesta atau makrokosmos atau bhuwana agung, keseluruhan hasil ciptaan ini disebut Brahmanda. Brahmanda adalah alam semesta objectif dan merupakan produk turunan dari Maya dalam kendali Iswara sesuai dengan evolusi dalam paparan di atas.
Kilas balik sejenak. Pada awal paparan tersebut konsep Panca Brahma. Dalam uraiannya tentang Panca Brahma dalam bukunya Siva Mahadeva (1984), Vasudeva S. Agravala menyatakan bahwa Panca Brahma adalah penguasa dari Panca Mahabhuta dan Panca Tanmatra. Sadyojata adalah penguasa Pertiwi (tanah) dan Gandha Tanmatra (bau), Bamadewa adalah penguasa Apah (air) dan Rasa Tanmatra (rasa), Aghora adalah penguasa Teja (api) dan Sparsa Tanmatra (cahaya, warna), Tatpurusa adalah penguasa Bayu (angin) dan Rupa Tanmatra (rupa), Isana adalah penguasa Akasa (ether) dan Sabda Tanmatra (suara). Dengan demikian Panca Brahma juga menjadi pengendali Panca Jnanendriya atau Panca Buddhindriya. Sebagaimana halnya Akasa, Isana juga adalah pengendali Srotendriya (indria pendengar), Tatpurusa adalah pengendali Twakindriya (indria sentuhan), Aghora adalah pengendali Caksundriya (indria penglihatan), Bamadewa adalah pengendali Jihwendriya (indria pengecap), Sadyojata adalah Pengendali Ghranendriya (indria penciuman).
Brahmanda konon memiliki lapisan-lapisan yang ditentukan oleh kuat lemahnya pengaruh Maya. Lapisan alam atas disebut Sapta Loka. Sapta Loka terdiri dari (rendah ke tinggi):
- Bhur Loka – Jagra Pada (alam atman – manusia)
- Bhuwah Loka – Swapana Pada (alam antara atman – pitara)
- Swah Loka – Supta Pada (alam dewa – parama atman)
- Maha Loka – Turya Pada (alam niratma)
- Jana Loka – Turyanta Pada (alam adhyatma)
- Tapa Loka – Kewalya Pada (alam Niskalatma)
- Satya Loka – Parama Kewalya Pada (alam Sunyatma, ruang hampa Nirguna Brahman)
Lapisan alam bawah disebut Sapta Patala. Sapta Patala terdiri dari (tinggi ke rendah berdasarkan Padma Purana):
- Atala
- Witala
- Sutala
- Talatala
- Mahatala
- Rasatala
- Patala
Bersambung…